Rabu, 25 Maret 2009

Masa Akhir Yapto


Mubes VIII Pemuda Pancasila di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur boleh jadi menjadi catatan sejarah tersendiri, karena kemungkinan merupakan masa terakhir kepemimpinan Japto S Soerjosoemarno.

TUBUH lelaki itu masih tegap. Penampilannya pun terlihat gagah dengan seragam loreng khas Pemuda Pancasila, ditambah dengan berbagai emblem lencana di dada yang diperoleh dari berbagai penghargaan.

Tapi usia tidak bisa dibohongi, tanda-tanda ketuaan itu mulai nampak pada kulit dan wajah Japto Sulistyo Soejosoemarno. ”Saya berharap ini kepemimpinan terakhir, karena saya yakin pada lima tahun ke depan sudah banyak kader PP yang jauh lebih baik,” ujar Japto – nama panggilan Japto S Soerjosoemarno, dalam pidato setelah penetapan dirinya menjadi Ketua Umum Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila pada Mubes VIII di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur.

Anehnya, tidak ada yang bertepuk tangan dengan aba-aba yang disampaikan Japto. Bahkan sebagian pikiran puluhan ribu kader PP yang ikut mendengar segera berkecamuk; siapa bakal menggantikan sang ketua?

Besarnya organisasi Pemuda Pancasila tak lepas dari kesetiaan Japto memimpin sejak berdiri 28 Oktober 1959. Selama delapan kali menyelenggarakan musyawarah besar, nyaris tak ada nama lain yang muncul untuk diorbitkan menggantikan sang ketua. Memang ada nama Yoris Raweyai, Ruhut Sitompul yang dianggap punya kans. Hanya saja sampai usia organisasi 50 tahun belum ada yang berani muncul.

Japto mengawali Pemuda Pancasila hanya bermodal 8 provinsi. Itupun hanya tiga provinsi yang memenuhi syarat sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Berkat kegigihan Japto, akhirnya sekarang 33 provinsi (MPW) dan 480 Majelis Pimpinan Cabang (MPC) terwakili. Jumlah anggota keseluruhan ditaksir tak kurang 10 juta kader.

”Sekarang saya sudah yakin, setelah semua sarana dan prasarana selesai,saya berharap ini kepemimpinan yang terakhir kali,” ujar Japto mengulang ucapan itu pada acara penutupan.

Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah sekretariat yang segera dibangun dengan biaya patungan dari kader-kader PP di seluruh daerah. Namun yang lebih meyakinkan, karena kader PP yang biasa disebut dengan ’preman’ sudah punya sumber daya manusia yang beragam. Yang siap memasuki hiruk pikuknya politik Indonesia.

Pergantian pimpinan di tubuh Pemuda Pancasila, sebenarnya bukan isu baru. Sejak dulu, sebagian kader sudah menghendaki adanya perubahan-perubahan itu hanya saja selalu kandas dan tak ada ruang untuk naiknya figur baru. Tiap kali disampaikan pandangan umum oleh masing-masing daerah, selalu saja tidak ada nama lain yang muncul selain Japto S Soerjosoemarno.

Itu pula yang membuat organisasi ini menjadi unik. Karena sebenarnya amanat menjadi pimpinan itu bukan dikehendaki oleh Japto dengan cara meminta-minta atau ’menyuap’ para utusan daerah agar memilihnya. Sebagian besar kader-kader PP di seluruh Indonesia merasa, memang masih Yapto yang terbaik sehingga tanpa tim suksespun dia tetap saja unggul.

H Syahril H Taher, Ketua MPC PP Balikpapan termasuk yang merasa senang adanya aba-aba dari Japto yang ingin mengakhiri masa kepemimpinan lima tahun terakhir. ”Ya saya kira sudah sebaiknya dilakukan penyegaran. Berikan kepada yang muda-muda. Kita yang tua-tua ini wajib memberikan kesempatan kepada yang muda,” kata Syahril. *charles siahaan

Alot di Kanal Politik




Soal kemana aspirasi politik Pemuda Pancasila sempat membuat ‘gejolak’ pada persidangan Mubes VIII di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur.

KALAU selama ini banyak yang mengidentikkan kader-kader Pemuda Pancasila sebagai orang-orang yang mengandalkan otot, alias pekerja kasar yang cari uang dengan kekuatan fisik dan kekerasan, boleh jadi memang tak berlaku lagi di ruang persidangan Musyawarah Besar VIII Pemuda Pancasila yang berlangsung 20-22 Februari 2009 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur.

Buktinya, para kader yang kerap dijuluki ’preman’ itu bisa sangat santun ketika mengikuti sesi demi sesi persidangan Mubes. Bahkan saat penyampaian pandangan umum, nyaris semua daerah – 34 provinsi – mampu tampil di muka umum, berpidato sebagaimana sering dilakukan para pejabat atau aktivis negeri ini. Padahal, biasanya, pidato termasuk bagian yang paling tidak disukai kalangan ’preman’. Sebab berpidato bisa membuat dengkul gemetaran.

Tapi lihatlah Japto S Soerjosoemarno, Ketua Umum Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila. Sekarang pria berusia 60 tahun yang akrab dipanggil Yapto itu bisa dengan teratur menyusun kata-kata bak seorang politikus sejati ketika menyampaikan pandangannya terhadap berbagai hal. Mulai masalah internal organisasi maupun nasib negeri ini. Padahal dulu, diakuinya sendiri, diawal-awal berorganisasi, ia merasa gagap kalau sudah dapat giliran berpidato di depan umum. ”Sekarang kalau saya tampil berpidato malah sering lupa mengakhirinya,” kelakar Yapto, pada suatu kesempatan.

Pengalaman ‘sang ketua’ rupanya bernasib sama dengan kader-kader PP di seluruh daerah. Hanya karena terus-menerus ’terpaksa’ harus tampil dalam organisasi dan memimpin rapat-rapat, soal berpidato sudah menjadi bisa karena biasa.

Buktinya pada persidangan di Mubes itu. Kalau dulu jarang terjadi interupsi ketika pimpinan memimpin sidang, sekarang nyaris tak ada sesi yang terlewati tanpa hujan interupsi. Semua peserta ingin menunjukkan partisipasinya, membangun organisasi yang telah berusia 49 tahun itu.

Kader-kader PP pun tak kalah galak dengan para anggota DPR RI yang memperjuangkan keinginan masing-masing. Seperti yang terjadi pada sesi persidangan yang membahas aspirasi politik kader-kader Pemuda Pancasila. Di sesi itu memang nampak masih adanya pergumulan diantara kader, sebagai dampak didirikannya Partai Patriot Pancasila (sekarang Partai Patriot) pada 1 Juni 2001 silam.

Pada zaman Orde Baru, kader-kader organisasi kepemudaan (OKP) PP secara terbuka menjadi ’penggembira’ partai Golkar. Itu sebabnya, ketika reformasi bergulir tahun 1988 dan setahun kemudian PP diubah menjadi organisasi massa (Ormas), banyak kader-kader andalan PP yang masih bertahan menjadi petinggi di Golkar. Begitu pula ketika disepakati berdirinya Partai Patriot Pancasila, tak semua kader PP yang berada di partai lain – terutama Golkar – yang bersedia pindah ke partai para loreng oranye-hitam tersebut.

Sebut saja nama Yoris Raweyai, Ketua Harian PP yang menjadi anggota DPR RI dan juga menjadi petinggi di organisasi sayap Golkar, yakni AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar). Kemudian ada juga Nurlip yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Aceh, serta Paska Suzeta (Menteri Negara Percepatan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas) juga dari Partai Golkar.

Utusan Sulawesi Selatan dan Jawa Timur termasuk yang paling ngotot agar pimpinan sidang membuat redaksi yang tegas mengenai aspirasi politik kader-kader PP. Ketegasan yang diminta adalah seluruh kader PP menyalurkan aspirasi politiknya ke Partai Patriot. ”Tolong susunan redaksi mengenai aspirasi itu dibuat dengan tegas oleh pimpinan sidang. Jangan coba-coba untuk menyelewengkan,” kata utusan PP Sulawesi Selatan.

Memang, sebelum pembahasan, isi redaksi tentang kemana aspirasi politik kader-kader PP terkesan diambangkan. Diduga, masih terambangkannya soal tersebut karena adanya muatan kepentingan dari kader-kader PP yang berada di partai lain selain Patriot. Tak hanya di tingkat nasional, di daerah-daerah juga banyak sekali kader PP yang duduk sebagai anggota DPRD kota/kabupaten dan provinsi, tapi bukan dari Partai Patriot. Di Kaltim sendiri contohnya adalah Herlan Agussalim yang sekarang Ketua DPRD Kaltim, Muhayan Hasan (angota DPR RI).

Utusan Sulsel dan Jawa Timur sempat memonopoli mikrofon yang tersebar diantara peserta Mubes. Dengan gaya yang khas dan keras, utusan tersebut terus menuntut pimpinan sidang mensahkan soal aspirasi politik kader PP ke Partai Patriot, tanpa memberi kesempatan utusan lainnya memberikan tanggapan.

Tapi akhirnya memang, sebagian besar peserta menginginkan agar sikap ngotot utusan Sulsel dan Jawa Timur disahkan. Hanya saja suasana sempat tegang karena ribuan peserta lainnya juga ikut berteriak-teriak meminta utusan Sulsel tidak memaksakan kehendak. Hiruk pikuk di ruang sidang bertambah ’seru’ karena pasukan pengamanan dari Komando Inti Mahatidana (Koti) membuat barisan di depan dengan maksud melindungi pimpinan sidang kalau-kalau terjadi tindak kekerasan.

Yapto sendiri langsung turun ’gunung’ setelah melihat gelagat para kader PP yang mulai panas. Ia langsung mengambilalih mimbar dan menyerukan kepada semua peserta bersikap tenang. ”Jangan ada lagi keributan. Mubes ini untuk menyatukan kita dalan semangat persaudaraan,” kata Yapto.

Terbukti, kharisma ’sang ketua’ masih bersinar terang. Begitu tampil di podium dan memberikan arahan, seluruh peserta yang sempat naik ke atas kursi langsung duduk kembali dan mendengarkan. Diantara peserta ada yang nyeletuk; ”Bang Yapto yang jadi bos preman, sekarang malah sudah seperti Soekarno (Presiden RI pertama-red) kalau pidato”.

Dari arahan Yapto tersirat kalau ia pun menghendaki adanya ketegasan soal aspirasi politik itu. Ia sependapat dengan Sulsel dan Jatim serta utusan lain yang pro agar aspirasi politik kader PP disalurkan ke Partai Patriot. Usai itu, gejolak yang timbul reda kembali. Pimpinan sidang pun membacakan redaksinya dan kemudian mensahkan.

Kekuatiran Yapto terbersit dalam arahannya. Sebab kalau tidak ada ketegasan tentang aspirasi politik tersebut, kemungkinan bakal ada yang berusaha menyeret gerbong besar PP untuk mendukung partai lain selain Patriot.

Said Amin, Ketua MPW PP Kalimantan Timur pun ikut merangsek ke dalam ruangan dan bergabung dengan utusan lainnya ketika terjadi gejolak di kanal politik itu. Saat Yapto menyampaikan pandangannya dan disambut penuh semangat oleh sebagian besar peserta, Said ikut bertepuk tangan pertanda setuju dengan ketegasan sikap dan prinsip tersebut.

Adanya keputusan Mubes VIII Pemuda Pancasila itu, kata Said, wajib ditaati oleh seluruh kader PP di Kalimantan Timur. ”Seluruh keputusan dalam Mubes ini segera disosialisasi di Kaltim. Karena Pemilu sudah dekat dan semua kader PP wajib bergerak mennyukseskan partai Patriot,” ujar Said. *charles siahaan

Ketika “Preman” Bermusyawarah


Musyawarah Besar Pemuda Pancasila VIII baru saja usai digelar di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur. Selama dua hari, 20 – 22 Februari 2009, puluhan ribu kader organisasi massa dengan loreng oranye hitam itu terpuaskan untuk menyusun agenda lima tahun ke depan. Wartawan majalah BONGKAR! Charles Siahaan yang juga kader Pemuda Pancasila, membuat catatan sepulangnya dari acara yang dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla tersebut.


PAGI yang cerah di Kota Jakarta, akhir pekan (21/2) lalu, pejabat tinggi di negeri ini - sekelas Jusuf Kalla pun, datang ke Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, tempat Mubes VIII Pemuda Pancasila berlangsung. Ia telah disambut oleh puluhan ribu kader PP utusan dari seluruh Indonesia yang dengan bangganya mengenakan seragam kebesaran loreng ‘oranye-hitam’.

Sesekali pekikan khas Pemuda Pancasila dikumandangkan. “Pancasila!” yang dijawab secara serentak dengan kata “Abadi!”. Pekikan itu berulang tiga kali dan diakhiri dengan pekikan kata “Merdeka!”.

Senyum khas Jusuf Kalla menyertai semangat kemeriahan acara pembukaan. Walaupun ia adalah Ketua Umum Partai Golkar, tapi ia sama sekali tidak menolak manakala dinobatkan sebagai anggota kehormatan PP dan dikenakan jaket loreng oleh Japto S Soejosoemarno, sang Ketua Umum Majelis Pimpinan Nasional (MPN) PP.

Pemuda Pancasila awalnya adalah organisasi pemuda yang kemudian berubah – sejalan tuntutan reformasi tahun 1987 - menjadi organisasi massa (Ormas). Di zaman Orde Baru Pemuda Pancasila menjadi organisasi underbouw Golkar.

Tidak heran kalau Jusuf Kalla juga serasa berada di ’rumah’ sendiri ketika bersama-sama kader PP. Apalagi di dalam ruangan acara, foto Yusuf Kalla terpampang dengan ukuran super besar di baliho bersama dengan Yapto – panggilan akrab Japto S Soejosoemarno.

Akibat adanya foto kedua tokoh itu memancing persepsi apakah itu sinyal bakal berkoalisinya kembali PP yang telah punya Partai Patriot ke tubuh Partai Golkar.
Dalam pidatonya, Yusuf Kalla juga merasa tak sungkan dengan predikat ‘preman’ yang melekat pada kader-kader Pemuda Pancasila (PP). Jusuf Kalla malah secara lugas mengatakan bahwa di negeri ini masih sangat-sangat dibutuhkan sosok ‘preman’ itu. Tentu saja bukan dalam arti untuk melakukan kejahatan korupsi, tapi lebih pada sosok orang bebas yang penuh kemandirian.

Ungkapan kata ‘preman’ sepertinya memang tidak pernah akan lekang dari organisasi yang didirikan oleh Japto S Soerjosoemarno pada 28 Oktober 1959 lalu itu. Walau sudah begitu banyak upaya yang dilakukan untuk ‘membersihkan’ imej yang terlanjur melekat, tetap saja persepsi publik tidak berubah. “Biarlah itu (preman-red) yang sudah terlanjur menempel,” kata Yapto, dalam sebuah pernyataannya.

Kata ‘preman’ dalam bahasa Indonesia identik dengan dunia kekerasan dan kejahatan. Bahkan Yapto sendiri dalam ensiklopedi bebas bahasa Indonesia yang mudah diakses melalui internet dicantumkan sebagai tokoh "separuh hitam, separuh putih". Itu karena masa muda pendiri PP itu dipenuhi dengan berbagai persaingan dan perkelahian antar gang pemuda di Jakarta.

Kalau mau jujur, kata preman itu sebenarnya berasal dari kata Bahasa Belanda, yaitu ‘vrijman’ yang artinya adalah orang yang bebas, orang yang tidak terikat, orang yang merdeka. Pada masa lampau seringkali ‘preman’ bermakna sebagai orang-orang yang membangkang, tapi punya sifat yang patriot seperti Robin Hood. Tokoh Robin Hood diidentikkan sebagai orang merampok kekayaan orang kaya tapi tamak, untuk diberikan kepada orang-orang miskin yang memerlukan.

Pergeseran sosial budaya pula yang akhirnya menempatkan kata ‘preman’ sebagai orang-orang yang melakukan kejahatan, tukang memeras di pasar-pasar, menganggu keamanan kampung dan nongkrong di gang-gang. ‘Preman’ identik dengan pengangguran, bromocorah atau dalam istilah lainnya Gali.

Pada dasarnya, PP memang menampung orang-orang yang keluar dari penjara dan ingin mengabdikan hidup lebih baik. Dulu, sebelum PP terbentuk, di Jakarta ada disebut ‘Preman Sadar’ alias Prems. Ini adalah kelompok para mantan narapidana di Kota Jakarta yang ingin bekerja sebagai tukang parkir, Satpam sampai centeng.

Di kalangan kader-kader PP, kata ‘preman’ itu sama sekali tidak menyakitkan hati. Bahkan umumnya para kader mengaku bangga, karena pada era sekarang ’preman’ itu lebih dimaksudkan pada orang bebas yang mandiri seperti diungkap Wapres Jusuf Kalla. ”Kita memang kumpulan para preman. Tapi bukan preman biasa,” kata Anuar Shah alias Aweng, Ketua MPW PP Sumatera Utara, suatu hari.

Apa dan bagaimana bentuk ’bukan preman biasa’ itu, Aweng juga tidak bisa merinci. Yang pasti, preman itu bukan seperti gambaran masyarakat seperti menjadi tukang peras dan sebagainya.

Hal itu diakui pula oleh Yapto. Dalam berbagai kesempatan putra asal Solo itu meminta kepada kader PP tidak perlu keberatan jika ada yang berpendapat organisasi itu dihuni oleh para bekas preman.

''Di PP ada ulama, intelektual, guru, dan ahli hukum. Tapi di PP juga ada macan, belatung, dan lipan. PP tidak keberatan disebut sebagai organisasi sosial dengan para bekas preman, penjahat, dan perampok di dalamnya,'' ujar Yapto, pada suatu acara di Jepara Jateng.

Ada istilah yang melekat diucapkan Yapto; ''Kami tidak akan berkecil hati dengan sebutan itu. Lebih baik dikatakan organisasi dengan kader-kader haram jadah yang menuju sajadah, dari pada kader sajadah yang menjurus ke perilaku haram jadah”.
Kebanggaan disebut ’preman’ itu yang justru memunculkan semangat kader-kader PP untuk berbuat lebih baik bagi bangsa ini. Sebagai kelompok yang dicibir, malah membuat kader-kader PP bersatu untuk mandiri. Mereka kuat dalam aksi sosial, tolong menolong sesama anggota dan kompak dalam kesenangan maupun kesulitan.

Buktinya, nyaris para petinggi organisasi ini tidak menghendaki aliran dana pemerintah atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk menjalankan organisasi. Misalnya untuk membangun sekretariat MPN PP di Jakarta, para petingginya memilih berembuk dengan sesama MPW se-Indonesia dan hasilnya adalah sekretariat harus dibangun dengan dana patungan para kader yang telah berhasil dalam bisnis mereka. Tercatat uang yang terkumpul dari patungan kader-kader PP itu ada sekitar Rp3,4 Miliar dan sumber dana terbesar berasal dari kader-kader PP Kalimantan Timur, yakni HM Said Amin (Ketua MPW PP Kaltim) Rp500 Juta, H Popo Parulian (MPO PP Kaltim) Rp500 Juta dan H Harbiansyah (MPO PP Kaltim) Rp300 Juta.

Tidak hanya itu, di daerah-daerah juga organisasi PP berusaha tidak meminta-minta kepada pemerintah. Sangat berbeda dengan organisasi lain – baik OKP maupun Ormas – yang nampak seperti ’anak mami’ tiap kali ingin mengadakan kegiatan. Ketika organisasi lain membuat proposal yang rapi dan keluar masuk kantor pemerintah, para kader PP hanya bicara dengan para petinggi untuk dicarikan jalan keluar mendapatkan dana acara.

Contohnya pada kegiatan pelantikan Komando Inti Mahatidana (Koti) MPW Pemuda Pancasila Kaltim yang berlangsung 7 Februari 2009 lalu. Dana penyelenggaraan kegiatan di hotel berbintang itu diusahakan sendiri oleh para kader-kadernya dengan melibatkan para petinggi di salah satu unit PP itu. ”Kita tidak ada minta ke pemerintah. Dananya kita cari sendiri,” ujar Budiansyah, Ketua Panitia Pelantikan Koti MPW PP Kaltim yang berlangsung di Hotel Bumi Senyiur, 7 Februari 2009 lalu. Bahkan sebelum acara selesai dilaksanakan, panitia sudah membayar lunas semua pembiayaan tersebut. Sip lah ! **