Rabu, 25 Maret 2009

Ketika “Preman” Bermusyawarah


Musyawarah Besar Pemuda Pancasila VIII baru saja usai digelar di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur. Selama dua hari, 20 – 22 Februari 2009, puluhan ribu kader organisasi massa dengan loreng oranye hitam itu terpuaskan untuk menyusun agenda lima tahun ke depan. Wartawan majalah BONGKAR! Charles Siahaan yang juga kader Pemuda Pancasila, membuat catatan sepulangnya dari acara yang dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla tersebut.


PAGI yang cerah di Kota Jakarta, akhir pekan (21/2) lalu, pejabat tinggi di negeri ini - sekelas Jusuf Kalla pun, datang ke Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, tempat Mubes VIII Pemuda Pancasila berlangsung. Ia telah disambut oleh puluhan ribu kader PP utusan dari seluruh Indonesia yang dengan bangganya mengenakan seragam kebesaran loreng ‘oranye-hitam’.

Sesekali pekikan khas Pemuda Pancasila dikumandangkan. “Pancasila!” yang dijawab secara serentak dengan kata “Abadi!”. Pekikan itu berulang tiga kali dan diakhiri dengan pekikan kata “Merdeka!”.

Senyum khas Jusuf Kalla menyertai semangat kemeriahan acara pembukaan. Walaupun ia adalah Ketua Umum Partai Golkar, tapi ia sama sekali tidak menolak manakala dinobatkan sebagai anggota kehormatan PP dan dikenakan jaket loreng oleh Japto S Soejosoemarno, sang Ketua Umum Majelis Pimpinan Nasional (MPN) PP.

Pemuda Pancasila awalnya adalah organisasi pemuda yang kemudian berubah – sejalan tuntutan reformasi tahun 1987 - menjadi organisasi massa (Ormas). Di zaman Orde Baru Pemuda Pancasila menjadi organisasi underbouw Golkar.

Tidak heran kalau Jusuf Kalla juga serasa berada di ’rumah’ sendiri ketika bersama-sama kader PP. Apalagi di dalam ruangan acara, foto Yusuf Kalla terpampang dengan ukuran super besar di baliho bersama dengan Yapto – panggilan akrab Japto S Soejosoemarno.

Akibat adanya foto kedua tokoh itu memancing persepsi apakah itu sinyal bakal berkoalisinya kembali PP yang telah punya Partai Patriot ke tubuh Partai Golkar.
Dalam pidatonya, Yusuf Kalla juga merasa tak sungkan dengan predikat ‘preman’ yang melekat pada kader-kader Pemuda Pancasila (PP). Jusuf Kalla malah secara lugas mengatakan bahwa di negeri ini masih sangat-sangat dibutuhkan sosok ‘preman’ itu. Tentu saja bukan dalam arti untuk melakukan kejahatan korupsi, tapi lebih pada sosok orang bebas yang penuh kemandirian.

Ungkapan kata ‘preman’ sepertinya memang tidak pernah akan lekang dari organisasi yang didirikan oleh Japto S Soerjosoemarno pada 28 Oktober 1959 lalu itu. Walau sudah begitu banyak upaya yang dilakukan untuk ‘membersihkan’ imej yang terlanjur melekat, tetap saja persepsi publik tidak berubah. “Biarlah itu (preman-red) yang sudah terlanjur menempel,” kata Yapto, dalam sebuah pernyataannya.

Kata ‘preman’ dalam bahasa Indonesia identik dengan dunia kekerasan dan kejahatan. Bahkan Yapto sendiri dalam ensiklopedi bebas bahasa Indonesia yang mudah diakses melalui internet dicantumkan sebagai tokoh "separuh hitam, separuh putih". Itu karena masa muda pendiri PP itu dipenuhi dengan berbagai persaingan dan perkelahian antar gang pemuda di Jakarta.

Kalau mau jujur, kata preman itu sebenarnya berasal dari kata Bahasa Belanda, yaitu ‘vrijman’ yang artinya adalah orang yang bebas, orang yang tidak terikat, orang yang merdeka. Pada masa lampau seringkali ‘preman’ bermakna sebagai orang-orang yang membangkang, tapi punya sifat yang patriot seperti Robin Hood. Tokoh Robin Hood diidentikkan sebagai orang merampok kekayaan orang kaya tapi tamak, untuk diberikan kepada orang-orang miskin yang memerlukan.

Pergeseran sosial budaya pula yang akhirnya menempatkan kata ‘preman’ sebagai orang-orang yang melakukan kejahatan, tukang memeras di pasar-pasar, menganggu keamanan kampung dan nongkrong di gang-gang. ‘Preman’ identik dengan pengangguran, bromocorah atau dalam istilah lainnya Gali.

Pada dasarnya, PP memang menampung orang-orang yang keluar dari penjara dan ingin mengabdikan hidup lebih baik. Dulu, sebelum PP terbentuk, di Jakarta ada disebut ‘Preman Sadar’ alias Prems. Ini adalah kelompok para mantan narapidana di Kota Jakarta yang ingin bekerja sebagai tukang parkir, Satpam sampai centeng.

Di kalangan kader-kader PP, kata ‘preman’ itu sama sekali tidak menyakitkan hati. Bahkan umumnya para kader mengaku bangga, karena pada era sekarang ’preman’ itu lebih dimaksudkan pada orang bebas yang mandiri seperti diungkap Wapres Jusuf Kalla. ”Kita memang kumpulan para preman. Tapi bukan preman biasa,” kata Anuar Shah alias Aweng, Ketua MPW PP Sumatera Utara, suatu hari.

Apa dan bagaimana bentuk ’bukan preman biasa’ itu, Aweng juga tidak bisa merinci. Yang pasti, preman itu bukan seperti gambaran masyarakat seperti menjadi tukang peras dan sebagainya.

Hal itu diakui pula oleh Yapto. Dalam berbagai kesempatan putra asal Solo itu meminta kepada kader PP tidak perlu keberatan jika ada yang berpendapat organisasi itu dihuni oleh para bekas preman.

''Di PP ada ulama, intelektual, guru, dan ahli hukum. Tapi di PP juga ada macan, belatung, dan lipan. PP tidak keberatan disebut sebagai organisasi sosial dengan para bekas preman, penjahat, dan perampok di dalamnya,'' ujar Yapto, pada suatu acara di Jepara Jateng.

Ada istilah yang melekat diucapkan Yapto; ''Kami tidak akan berkecil hati dengan sebutan itu. Lebih baik dikatakan organisasi dengan kader-kader haram jadah yang menuju sajadah, dari pada kader sajadah yang menjurus ke perilaku haram jadah”.
Kebanggaan disebut ’preman’ itu yang justru memunculkan semangat kader-kader PP untuk berbuat lebih baik bagi bangsa ini. Sebagai kelompok yang dicibir, malah membuat kader-kader PP bersatu untuk mandiri. Mereka kuat dalam aksi sosial, tolong menolong sesama anggota dan kompak dalam kesenangan maupun kesulitan.

Buktinya, nyaris para petinggi organisasi ini tidak menghendaki aliran dana pemerintah atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk menjalankan organisasi. Misalnya untuk membangun sekretariat MPN PP di Jakarta, para petingginya memilih berembuk dengan sesama MPW se-Indonesia dan hasilnya adalah sekretariat harus dibangun dengan dana patungan para kader yang telah berhasil dalam bisnis mereka. Tercatat uang yang terkumpul dari patungan kader-kader PP itu ada sekitar Rp3,4 Miliar dan sumber dana terbesar berasal dari kader-kader PP Kalimantan Timur, yakni HM Said Amin (Ketua MPW PP Kaltim) Rp500 Juta, H Popo Parulian (MPO PP Kaltim) Rp500 Juta dan H Harbiansyah (MPO PP Kaltim) Rp300 Juta.

Tidak hanya itu, di daerah-daerah juga organisasi PP berusaha tidak meminta-minta kepada pemerintah. Sangat berbeda dengan organisasi lain – baik OKP maupun Ormas – yang nampak seperti ’anak mami’ tiap kali ingin mengadakan kegiatan. Ketika organisasi lain membuat proposal yang rapi dan keluar masuk kantor pemerintah, para kader PP hanya bicara dengan para petinggi untuk dicarikan jalan keluar mendapatkan dana acara.

Contohnya pada kegiatan pelantikan Komando Inti Mahatidana (Koti) MPW Pemuda Pancasila Kaltim yang berlangsung 7 Februari 2009 lalu. Dana penyelenggaraan kegiatan di hotel berbintang itu diusahakan sendiri oleh para kader-kadernya dengan melibatkan para petinggi di salah satu unit PP itu. ”Kita tidak ada minta ke pemerintah. Dananya kita cari sendiri,” ujar Budiansyah, Ketua Panitia Pelantikan Koti MPW PP Kaltim yang berlangsung di Hotel Bumi Senyiur, 7 Februari 2009 lalu. Bahkan sebelum acara selesai dilaksanakan, panitia sudah membayar lunas semua pembiayaan tersebut. Sip lah ! **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar